Selasa, 27 Oktober 2015

PERTIWIKU TAK SEINDAH DULU

  

Ingatkah seberkas pelangi di puncak bahari?
Merah hijau dan biru, indah terurai
Pencakar langit menggenggam semesta
Terbentang padang hingga manokwari
Satu nama untuk negeriku INDONESIA
Nuansa sejuk nan rindang terasa firdaus
Lepas kuhirup rona sang mega
Tak butuh rumput ku tanya
Sejarahpun bagailah saksi keheningan

Namun mengapa ???
Tangan-tangan kecil menyayat tanah ini
Samudera tak lagi berwarna biru
Hitam, legam memupus harapan anak  adam

Aku bagailah hujan ,
Risih tuk turun walau kelam mendung
Surgaku kering pastilah kerontang
Aku bagailah pena
Tarianku sudah tak bernyawa
Emas ku kubur besi kan jadi bubur
Dengan percikkan limbah nusantara
Kujumpa pula tarian nakal makhluk sempurna
Bukan untukku, namun untuknya
Hijaukan lagi mimpi-mimpi dulu
Cemara rindang ku jumpa
Melodi duka sirna tertelan mega
Sanubariku hidup sedia kala
Masa kini tak seperti dulu
Era Soeharto berganti Jokowi
Koran bukan ancaman, sampah bukan problema
Inovasi baru bangkitkan Indonesiaku.








Senin, 26 Oktober 2015

CERITA PINGGIRAN KOTA

CERITA PINGGIRAN KOTA

Tanah bonang anggun mempesona
Terhampar begitu saja oleh nyanyian ombak
Ditopang kuat sawah sawah semesta
Sekonyong konyong berdiri tumpukan bata
Ada perampok dan tukang begal
Ada petani dan buruh tani
Ada direktur dan buruh pabrik
Ada penyair dan tukang syair
Ada pedagang dan pembeli
Ada pelajar dan penganggur
Ada aku dan semua

Ini adalah padang gembala nasib
Skenario merajai alur cerita
Alam selalu bicara walau tak pernah mengaku
Mengabarkan takdir yang ia punya
Untuk diinfaqkan pada manusia

Sekali kali kau intip pinggiran kota
Saat fajar merayu sambil tersipu malu
Berjuta umat bangkit dari keranjang lusuhnya
Bau keringat semerbak, dengus nafas memburu
Selayang pandang  jauh nan sana
Radius terbatas didepan mata
Becak becak menjajajakan pedalnya
Berjejer rapi tiap sudut dan perempat kota
Dekat rumah sang pencipta
Jalanan sempit untuk merajut asa

Biaskah pandanganmu saat melihat senja?
Diantara harmoni tarian ilalang
Kelompok hitam legam nan kekar mengais tanah
Sedang asyik berendam ronanya mega
Menancapkan rumput  pemberi kehidupan
Senantiasa tabah tak kunjung resah

Kala petang mulai menyerang
Anak anak  menangkap gulita
Tepat dipesisir pantai ini
Merelakan massanya untuk hidangan seadanya
Menelan mentah mentah apa yang didapat
Menikmati sekedar cucuran keringat
Ingin meratap namun tak sempat
Mencari surga sekaligus mala petaka

Bumi tuban berjuta rupa
Selangsang arena ikut mewarna
Berbagai rupa bias dijumpa
Mata ini seperti berkunang
Sebentar pijar sekejap terang
Ini retorika takdir ilahi
Khasanah kehidupan di kota wali